Selasa, 29 April 2008

Curriculum Vitae

Nama Lengkap : Verry Achmad, S.Sos

TTL : Bogor, 25 Desember 1982

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : JL.Penanggungan No 16 Kota Kediri

Contac Person : Hp. 085 735 090 957 - 085 235 080 007

Home (0354) 775458 Fleksi (0354) 706 5663

Riwayat Pendidikan

  • SDN Sidakaton 04 Tegal : Lulus Th. 1994
  • SMP Mardiyuana Sukabumi : Lulus Th. 1997
  • STM Bogor : Lulus Th. 2000
  • S1 Jurusan Komunikasi Tribakti Kediri : Lulus Th. 2005
  • S2 Jurusan Manajemen Universitas Gajayana – Malang : Th. 2007 - Sekarang

Pengalaman Organisasi / Karier

  • Ketua HMI Komisariat Tribakti Kediri Th. 2002/2003
  • MPM Tribakti Th. 2003/2004
  • Ketua HMI Cabang Kediri Th. 2003/2004
  • Ketua HMI Cabang Kediri Th. 2004/2005
  • Ketua Umum Fosja Th. 2004/2005
  • Deklarator Gerakan Pemuda Nusantara (GPN) Th. 2006
  • Presiden PB Gerakan Pemuda Nusantara (GPN) Th. 2006-sekarang
  • Direktur umum Media Suara Pemuda NESW Th. 2006-sekarang
  • Wartawan Media Dhoho TV Kediri Th. 2006-sekarang

Pengalaman Pelatihan / Program

  • LK I Komisariat Tribakti di Kediri Th. 2001
  • LK II HMI Cabang Soreang Bandung Th. 2003
  • Senior Course (SC) HMI Cabang Malang Th. 2004
  • LK II HMI Cabang Pasuruan Th. 2006
  • LK III HMI BADKO JATIM Th. 2008

Motto Hidup :

“Hidup ini jangan dibuat susah, karena tanpa dibuat susah
hidup ini sudah susah”

Kediri, 27 Maret 2008

Kandidat,


Verry Achmad

VISI - MISI

VISI

“Terwujudnya HMI sebagai organisasi perjuangan mahasiswa Islam

yang modern dan visioner, guna Terwujudnya kemandirian Bangsa”

MISI

“Memperkuat nilai – nilai keIslaman, keorganisasian,

perjuangan kemahasiswaan HMI

yang modern dan visioner, serta partisipasi aktif

membangun kemandirian Bangsa”


PENJABARAN VISI-MISI
  1. Penguatan nilai – nilai keIslaman

HMI adalah organisasi mahasiswa Islam. Ini berarti nilai keIslaman mutlak menjadi pedoman yang integral dalam setiap gerak langkah kader HMI, baik secara individual (pola pikir dan tingkah laku kader) maupun juga secara organisasional (disetiap kegiatan yang dilakukan oleh organisasi). Implementasi nilai Islam dalam menjalankan organisasi disetiap struktur yang ada secara masif dan berkesinambungan, melalui keteladanan kepemimpinan yang transformatif (PB HMI, BADKO, Cabang, Korkom, hingga Komisariat).

  1. Penguatan nilai – nilai keorganisasian

Pemahaman dan aplikasi secara konsisten mengenai tata cara, prosedur dan mekanisme penyelenggaraan organisasi ditiap-tiap strata, yang berlandaskan konstitusi, dan berjiwakan ukhuwah Islamiyah secara istiqomah.

  1. Penguatan nilai – nilai perjuangan kemahasiswaan HMI

HMI yang perannya adalah perjuangan, maka sejak dini (komisariat) harus ditanamkan nilai-nilai perjuangan (penghayatan yang utuh terhadap proses kelahiran HMI adalah untuk menjawab persoalan kepemudaan-kemahasiswaan, keumatan dan kebangsaan); keikhlasan, persatuan dan kesatuan, persaudaraan, semangat yang gigih, yang di landasi oleh nilai keberpihakan terhadap kaum tertindas (Islam sebagai pedoman dan rujukan), aplikatif lokalitas masing-masing (Komisariat/Korkom-kampus, Cabang-Kabupaten/kota, Badko-Provinsi, PB secara nasional, dengan kata lain, mengawal transisi lokal untuk mewujudkan transisi demokrasi secara nasional.

Strategi perjuangan HMI yang berbasis mahasiswa, penerapannya dengan penuh fleksibilitas dalam tataran jejaring (taktis), dan tetap teguh diwilayah prinsip/nilai. Serta diikuti dengan wawasan keilmuwan yang memadai, sebagai ciri khas kaum intelekual (HMI) yang lebih mendahulukan problem solver, dari pada distroyer (ketika menghadapi bebalnya kekuasaan).

Kampus sebagai basis HMI, harus dimaksimalkan. Karena HMI dilahirkan bukan semata-mata untuk anggotannya, akan tetapi untuk menjawab persoalan keumatan dan kebangsaan. Dan jawaban itu bersumber dari dalam kampus, lalu dicerna dan diolah oleh mahasiswa (HMI), berikutnya disuarakan secara lantang. Jika ini mampu HMI maksimalkan, maka kebangkitan HMI dikampus merupakan keniscayaan, karena ini akan berbanding lurus. Semakin esensial eksistensi HMI, maka makin kuat daya tarik HMI bagi mahasiswa. Sehingga aplikasi back to campus bukan dengan cara mendahulukan penguasaan struktur kemahasiswaan yang ada dikampus, akan tetapi pengorganisiran mahasiswa (HMI) terhadap kekuatannya untuk melakukan perjuangan secara esensial, yang tidak terpaku pada struktur kemahasiswaan dikampus, yang mana kini sudah cenderung birokratis (untuk tidak mengatakan oportunis). Sehingga perebutan struktur kemahasiswaan yang ada dikampus bukan menjadi hal utama, yang sering menghabiskan energi dan sumber daya, lebih-lebih sering menjadi biangkerok perpecahan gerakan. Karena jika eksistensi HMI mampu secara esensial menjawab persoalan kemahasiswaan diinternal kampus, dan masyarakat sekitar, kemungkinan besar hal ini akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi mahasiswa untuk mempercayai kader HMI dalam rekruitmen kepemimpinan dikampus. Dengan bahasa yang singkat, tebar kultur, raih struktur.

  1. Modernisasi organisasi

HMI yang mempunyai 18 Badko, 160an, dan ribuan komisariat, serta puluhan ribu anggota, ternyata secara institusional belum terdata secara valid. Sehingga sangat sulit untuk mengukur sejauh mana tingkat keberhasilan dan kemundurannya, khususnya yang lebih bersifat kuantitatif.

Sehingga dibutuhkan pendataan yang komprehenship, obyektif, lalu disusun secara modern melalui sistem komputerisasi yang masif diseluruh strata, dan dipblikasikan secara umum oleh kepemimpinan yang paling tinggi, yakni PB HMI. Agar semua bisa mengakses, mengontrol, memberi saran, juga media komunikasi maya semua yang mempunyai perhatian terhadap perjuangan HMI.

  1. Perjuangan yang visioner

Yakni peran perjuangan HMI yang aplikatif dan membumi dimasing-masing strata, lebih dititik beratkan pada rumusan solusi sebuah masalah yang mendasar, yang ada dimasing-masing starata, secara utuh. Sehingga gerak HMI lebih bersifat pro-aktif (jemput bola atau mencegah), daripada yang bersifat reaktif (pasif, gagap perubahan, yang cenderung lebih bersifat emosional). Daya proyeksional HMI perlu diasah untuk menjangkau segala laju perubahan multidimensional yang pasti terjadi disetiap tempat, mulai sejak awal (komisariat). Sehingga HMI merupakan “peramal” ulung terhadap arah perubahan yang multidimensional tadi, sekaligus diikuti dengan kemampuan menyiapkan jawaban-jawaban atas hal itu.

  1. Partisipasi aktif membangun kemandirian Bangsa

Kemandirian Bangsa yang integral, lahir bathin. Mandiri atas intervensi bangsa lain, baik dalam hal ekonomi, sosial, politik, keagamaan, serta pendidikan. Pendapat dan saran pihak luar sebatas masukan yang perlu kita hargai, apreasiasi secara proporsional, obyektif, tentunya juga selektif. Bukan sebagai intruksi, yang harus kita taati, hanya karena ketakutan-ketakutan yang berlebihan (penghentian bantuan, embargo, dst). Disinilah makna kedaulatan kemerdekaan kita sebagai suatu Bangsa-negara.

HMI menemukan relevansi keberadaannya dalam kondisi Bangsa yang demikian. HMI yang menjadi salah satu pelaku penting dalam mengawal kemerdekaan Indonesia, khususnya dari rongrongan PKI, dituntut untuk aktif mengisi masa kemerdekaan ini, yang mana masih banyak masyarakat yang kondisinya nyaris serupa dengan masa-masa penjajahan dulu; miskin pendidikan, pengetahuan, informasi, akses sumber daya, akses lapangan kerja, yang pada akhirnya melahirkan kemerdekaan semu.

Operasionalisasi dari partisipasi aktif HMI dalam mewujudkan kemandirian Bangsa, dapat diwujudkan dengan memperjuangkan anggaran pendidikan 20%, meliputi APBN dan APBD, sebagaimana yang diamanahkan UUD 1945 (hasil amandemen). Jaminan kesehatan orang miskin merupakan tanggung jawab negara, sehingga hal ini juga menjadi agenda utama, dan HMI harus memformulasikan bentuk aplikasinya yang humanis, tidak seperti yang sering kita saksikan selama ini, adanya diskriminasi, serta penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sering diacuhkan, karena kemiskinannya. Aset-aset sumber daya alam (SDA) secepatnya diselamatkan dari hisapan drakula koorporasi transnasional, yang terus menghisap tanpa ada interupsi yang berarti. HMI mempunyai tanggung jawab besar dalam hal ini. Meski tidak harus bersikap sebagaimana “Eki” (Ekstrem kiri) yang menuntut nasionalisasi aset-aset Bangsa dari investor asing, sebagaimana yang dilakukan Evo Morales, HMI harus tetap menawarkan solusi. Pemberian investasi yang “longgar”, kiranya perlu dibatasi seketat dan seselektif mungkin. Bukan hanya sebatas pada tataran prosentasekepemilikan saham, tetapi juga pelaksanaan dan pengawasannya. Dalam tataran pelaksanaan, SDM dalam negeri merupakan prioritas pertama yang berhak untuk melakukannya. Dalam tataran pengawasan, hal ini sebagai antisipasi terhadap adanya kemungkinan yang ada pada setiap proyek eksplorasi, agar tetap terkontrol, dan menjunjung tinggi keberlangsungan ekologi kita. Dan negaralah yang mampu mengatur semua ini, sedang HMI berkewajiban menyumbangsihkan alternatif solusinya.

Dalam tataran demokrasi lokal (otonomi daerah), HMI daerah (Badko dan Cabang) sesegera mungkin melakukan akselerasi partisipasi. Sehingga manfaat otonomi daerah benar-benar mampu dirasakan masyarakat daerah, tidak sebatas untuk pejabat daerah, seperti kebanyakan yang terjadi saat ini. Dan PB HMI berkewajiban membekali secara keilmuwan dan pengetahuan akan hal itu. Ini bisa dilakukan dengan cara bedah totalitas otonomi daerah, meliputi perspektif perundang-udangan, filosofis, akademis, serta empiris. Sehingga lahirnya “raja-raja kecil” didaerah mampu HMI “aborsi”, dengan partisipasi aktifnya mengisi, mengawal, dan mengontrol pelaksanaan otonomi daerah.

Saudara-saudara Himpunan se-Bangsa dan se-Tanah air, senasib dan sepenanggungan yang saya hormati, demikian pokok-pokok pikiran saya selaku Kandidat Ketua Umum PB HMI Periode 2008-2010. Hal ini merupakan refleksi keumatan dan kebangsaan saya sebagai pemuda serta sebagai bagian kader HMI yang –setidaknya- prihatin melihat kondisi kekinian kebangsaan dan berkenegaraan kita Indonesia, dan saya yakin begitu juga dengan Anda (mudah-mudahan).

Terakhir, saya mengajak saudara-saudara semua, mari kita luangkan waktu barang sejenak, untuk berdoa kepada Allah SWT, semoga Kongres HMI XXVI di Palembang nanti mampu menghasilkan perubahan yang esensial, baik untuk perbaikkan HMI, tentunya juga Bangsa Indonesia kita yang tercinta agar menjadi Bangsa yang Mandiri, Berdaulat dan Beradab, Amin.


Walhamdulillahirrabbil’alamin…

Wassalamu’alaikum, Wr. Wb

IDE DASAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb
Bismillahirrahmanirrahim
Salam Perjuangan………

“Negara yang tidak menyelenggarakan pemerintahannya secara adil, tidak lebih dari sekawanan perampok bagi Rakyatnya”
(Agustinus)

“Aku bukan artis pembuat berita, tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa”

(Wiji Thukul)

Pada tanggal 17 Agustus 2008 nanti, genap sudah usia kemerdekaan Bangsa kita Indonesia memasuki usia yang ke-63 Tahun. Usia yang tidak “sebentar” untuk perjalanan sebuah Bangsa yang telah memproklamirkan diri menjadi Bangsa yang bebas, mandiri dari intervensi penjajah, yakni merdeka.

Sejenak kita merenung, ternyata selama ini kita terjebak pada kemerdekaan semu. Mulai masa tumbangnya orde lama, orde baru, reformasi, hingga transisi demokrasi saat ini. Masa penjajahan yang identik dengan hidup dalam ketertindasan, kesewenang-wenangan, diskriminasi pendidikan, ekonomi, nyatanya kini masih banyak kita rasakan. Yang kesemuanya itu dilakukan oleh negara dengan beraneka ragam cara dan alatnya. Inkonstitusionalnya pemerintah dengan DPR terhadap UUD 1945 (hasil amandemen), tentang kewajiban alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN & APBD, adalah fakta “penjajahan” negara atas hak pendidikan warga negara. Naiknya harga BBM tahun 2005 lalu, diikuti pemberian Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang carut marut dan sama sekali tidak edukatif, bahkan menjadi potensi konflik horisontal, adanya pemiskinan, pengangguran, minimnya lapangan kerja dan upahnya, dan tingginya harga sembako, adalah bentuk “penjajahan” negara terhadap perekonomian pancasila yang sarat dengan nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) yang simplimikatif terhadap makna pendidikan, hingga penanganan bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur yang amburadul adalah serentetan dari sekian banyak “penjajahan” yang masih rakyat rasakan. Bahkan yang menyakitkan adalah statemen HAR Tilaar, pengamat pendidikan dan Guru Besar Emeritus UNJ (Kompas, “Humaniora”, 16 Februari 2008) tentang pendidikan tinggi, yakni sbb : “Pendidikan tinggi masih menjadi pabrik pengangguran sehingga terjadi pemborosan dana, waktu dan SDM”. Angka pengangguran tahun 2006, dari status sarjana menyumbang 183.629 orang. Tahun 2007 “sukses” naik mencapai angka 409.890 orang. Sedang dari status DI, DII, dan DIII, pada tahun 2007 juga “berhasil” menyumbangkan tak kurang dari 740.000 orang penganggur. Fantastis!. Contoh ironi lain masa kemerdekaan kita saat ini, yakni banyaknya TKI asal Indonesia. Bagaimana saat ini Bangsa kita bisa dikatakan merdeka, jika rakyat mau membangun rumah yang layak saja harus ke luar negeri. Yang “memerdekakan” TKI bukanlah Pemerintah atau DPR, tapi adalah negara tujuan TKI. Bagaimana tidak, kemerdekaan untuk mengakses Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM) di negeri ini hanya terbatas bagi mereka yang dekat dengan kekuasaan dan pemilik modal. Mereka yang marginal secara sosial, politik, maupun geografis, “terjajah” haknya. Akhirnya mereka “lari” keluar negeri guna mendapatkan modal untuk hidup layak di negerinya sendiri yang penuh dengan “penjajah”. Jika penguasa adalah “penjajah”, maka para TKI itu adalah “pahlawan”. Mereka susah payah “berjuang” diluar negeri, tak jarang harus merasakan siksaan, bahkan ada yang “gugur” di dalamnya. Padahal mereka telah berjasa, baik untuk menghidupi dirinya sendiri yang sedikit mendapatkan campur tangan penguasa, hingga hasil (materi) yang mereka bawa pulang mampu mendongkrak perekonomian daerahnya masing-masing. Perputaran uang semakin merata, daya beli masyarakat meningkat, berkat “perjuangan” mereka. Inilah gambaran kecil ironi kemerdekaan kita selama ini, dari sekian banyak fakta ironi kemerdekaan yang masih rakyat rasakan. “Rakyat miskin tidak mati karena minimnya pendapatan di bawah ½ $ AS /hari, tetapi mereka sekarat karena tidak memiliki akses terhadap sumber daya. Seseorang menjadi miskin karena tidak mendapat hak-haknya sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar. Mereka tidak memiliki akses terhadap sumber utama pendidikan, seperti air dan tanah yang dikuasai korporasi dan industri raksasa”, begitulah yang dikatakan Vandara Siva. (H. Imam Cahyono, Kompas, Opini, 8 Juli 2008)

Lebih dari itu, implikasi riil dari “penjajahan” penguasa terhadap hak-hak rakyatnya, yang fenomenal saat ini adalah disintegrasi Bangsa. Timor-timur adalah bukti pertamanya. Papua, Maluku, Aceh, merasakan sebab yang sama. Entah daerah mana lagi yang akan mengikuti jejaknya. Mengingat bentuk negara kita adalah kepulauan, sekitar 7,9 juta km lautan atau air, dan sekitar 7,9 km juta daratan atau tanah, maka rawan terjadi perpecahan. Ibarat senapan, saat ini amunisinya telah ada, tinggal menunggu penarik pelatuknya. “Amunisinya” adalah kesenjangan sosial. Sedang “penarik pelatuknya” adalah mereka yang merasa termarginalkan sehingga menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan. Baik itu berangkat dari inisiatif sendiri (lokalitas), maupun karena campur tangan asing -Australia dalam kasus Timor-timur salah satunya. Mereka merasa “terjajah”, hingga muncullah semangat untuk “memerdekakan diri”. Politik identitas kian menggejala. Semangat primordial kedaerahan mengalahkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Agama saling “mengancam” satu sama lain. Elit semakin “gila” dengan kepentingan masing-masing. Berlomba pasang bendera partai, deklarasi kontestasi lima tahunan, ditengah rintihan rakyat yang kesulitan membiayai hidup, ditengah tangis pedagang kali lima (PKL) yang terus digusur, dengan berbagai alasan yang sudah disiapkan : “demi kenyamanan, demi kebersihan, ketertiban, dst”. Wakil rakyat jadi makelar pemondokan haji. Musibah bencana alam dijadikan alat untuk meraup keuntungan pribadi. Sungguh tragis!. Benar memang apa yang dikatakan oleh Ketua Umum PB NU, KH. Hasyim Muzadi, (Kompas, 1/02/2006), “...Keterpurukan kita sudah sempurna. Hukum tidak mencapai keadilan, ekonomi tidak mencapai kesejahteraan, pendidikan tidak mencapai karakter, eksploitasi dan eksplorasi alam tidak sampai pada kapabilitas dan kompetensi, budaya tidak menghasilkan etika, agama tidak lagi melahirkan rahmat, tetapi justru fitnah dengan konfliknya yang menghancurkan...”.

Kaum reformis, HMI salah satunya, harus berani melakukan otokritik terhadap kegagalannya dalam melakukan reformasi selama ini. Sifat gerakan yang cenderung reaksioner, parsial, temporal, sentralistik serta figuritas dan terkadang politis - praktis, tanpa didasari telah menelantarkan keberlangsungan lajunya Bangsa ini. Pertama, gerakan HMI yang reaksioner, menunjukkan secara implisit lemahnya daya proyeksional HMI pada fenomena perubahan sosial – politik yang terus dinamis berubah. Sehingga gerakan yang dilakukan minim solusi, dan lebih memposisikan menjadi oposan “semu” –untuk tidak mengatakan oportunis, tak jarang diikuti tindakan destruktif. Naiknya harga BBM tahun lalu (2005) hingga dua kali dalam satu tahun, bahkan yang terakhir tingkat kenaikkan rata-rata mencapai 100%, hanya mampu disikapi dengan tuntutan; tolak!. Namun disisi lain, argumentasi yang melandasi sikap penolakkannya tidak banyak menawarkan alternatif-alternatif solusi. Sehingga (seakan) tidak ada alasan yang kuat bagi pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM karena minimnya kontribusi pemikiran yang solutif dari kelompok yang dianggap "tahu"; ekonom, akademisi, mahasiswa, juga kalangan Perguruan Tinggi, HMI juga tentunya. Kedua; temporalitas dan parsialitas gerakan. Gerakan reformasi berjalan setengah-setengah. Ranah politik terlalu banyak menyita perhatian, yang meminimalisir perhatian pada wilayah-wilayah lain, yang tak kalah vitalnya; ekonomi, pendidikan, keagamaan, sosial dan budaya. Ketiga; sentralistik. Fokus dan konsentrasi pengawasan, penyikapan dan perlawanan HMI selama ini lebih dominan pada pemerintahan pusat. Padahal era reformasi telah menghasilkan perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan, dari sentralisasi menuju desentralisasi (Otoda). Perubahan ini sempat dikatakan hanya akan melahirkan raja-raja kecil di daerah, karena besarnya kekuasaan ekskutif daerah (Gurbernur, Walikota dan Bupati). Padahal lahirnya raja-raja kecil itu merupakan implikasi dari ketidakmampuan HMI daerah dalam melakukan pengawalan proses demokratisasi yang ada di daerah. Sehingga semangat otoda yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, acapkali dibelokkan untuk kepentingan segelintir elit daerah. Keempat; Paradigma figuritas. Dalam merampungkan agenda reformasi, sosok pemimpin (Presiden, Gurbernur, Walikota dan Bupati) dianggap segalanya. Yang harus bisa melakukan sekian banyak tuntutan masyarakat. Dan jika gagal dituntut mundur (kasus Bupati Bayuwangi) atau dilengserkan. Padahal mereka tidak berdiri, banyak kelompok yang mengusung, yang luput dari pengamatan serta pengawasan. Kelima; politisisme. Gelombang reformasi yang berangkat dari gerakan moral, berujung pada gelombang politik praktis –tuntutan lengsernya Soeharto. Tapi bagaimana pasca lengsernya Soeharto, kriteria pemimpin penggantinya, tentu yang mempunyai komitmen untuk merampungkan agenda reformasi, lepas dari kontrol. Dan tak bisa kita pungkiri, arus reformasi delapan tahun silam tak lepas dari kepentingan segelintir elit politik, khususnya yang berada di luar struktur kenegaraan (kekuasaan). Terbukti pasca tergulingnya Soeharto, mereka berjibun masuk dalam struktur kekuasaan negara. Tujuannya bukan untuk mereformasi struktur dan kultur orde baru yang bobrok, tapi hanya sebatas mengganti personil dan kelompoknya saja. Jika era orde baru Soeharto sebagai aktor utama dan Golkar sebagai kendaraan dalam menguasai negara untuk kepentingan mereka, pasca reformasi proses tersebut hanya berganti menjadi bagi-bagi "kue" kekuasaan, sesuai tingkat keberhasilan mereka dalam mengelabuhi masyarakat untuk memilihnya (Pemilu). Karena kesemuanya kini telah tersingkap, apa motif sesungguhnya di balik dukungan mereka pada reformasi, hanya untuk menggantikan, bukan untuk melakukan perubahan. Tengok saja sekarang, berapa banyak mereka yang dulu semangat meneriakkan kalimat reformasi, bahkan menjadi unjung tombak dan tersimbolkan, tapi kini perilakunya tak lebih dari pejabat era orde baru. Baik yang mereka masuk dalam jajaran ekskutif, legislatif maupun yudikatif.

HMI tak mampu berperan banyak. Etos kejuangan HMI yang identik dengan pengorbanan, semangat keIslaman HMI yang identik dengan keikhlasan, pembebasan serta keberpihakkan pada kaum tertindas (Mustadz’afin), juga semangat kemahasiswaan - kepemudaan HMI yang identik dengan menggebunya idealisme, kritisisme, mobile, pantang menyerah, yang telah HMI tunjukkan pada masa awal kelahirannya, kini (seakan) sirna tanpa bekas yang berarti. Luluh lantah bak tanah Nanggroe Aceh Darussalam yang tersapu badai tsunami beberapa tahun lalu. Banyak sudah penilaian yang terlontar dari dalam (otokritik) maupun luar organisasi (kritik), melihat perkembangan kekinian organisasi hijau hitam ini. Ada yang mengatakan kondisi ini adalah sebuah kewajaran. Dengan rasionalisasi, HMI “saatnya” menapaki siklus tua organisasi. Sehingga dengan “ketuaannya”, wajar apabila sebuah organisasi mengalami masa surut, karena telah pula mengalami masa pasang. Ada juga yang mengatakan kondisi HMI saat ini sudah begitu kronis –ibarat sakit, seakan sulit terobati. Hanya menjadi beban umat dan bangsa. Sehingga lebih baik dibubarkan, sebagaimana statmennya Cak Nur. Apapun penilaian yang dialamatkan pada HMI, tentu semua itu sah-sah saja. Karena dari berbagai kritikan dan gugatan itulah akan melahirkan sebuah formulasi konstruktif bagi organisasi, yang menjadi tanggung jawab para kader saat ini.

Berangkat dari itu semua, yang pasti ada beberapa hal yang perlu kita identifikasi bersama terkait problematika internal HMI saat ini. Pertama; Kultur luhur yang kian luntur. Jika kita runut dari awal, kebesaran nama kader-kader HMI era 60-an hingga saat ini, adalah suatu proses panjang. Bukan sesuatu yang serta merta, apalagi bim salabim. “Beliau” merasakan benar proses kemahasiswaan, keorganisasian - ke-HMI-an. Budaya kajian, diskusi, menulis -sepintas seperti sesuatu yang sepele, melelahkan dan membosankan, tapi telah mampu menjadi karakter dan juga bargaining HMI, baik di intra maupun ekstra kampus. Benar memang apa yang dikatakan orang bijak, “...orang besar tidak melakukan sesuatu yang luar biasa. Tapi mereka melakukan sesuatu yang biasa dengan cara yang luar biasa....”. Yang biasa adalah budaya kajian, diskusi dan menulisnya, hanya saja cara untuk itu yang luar biasa; terprogram secara sistematis, intensif, disiplin dan tentu dengan bahan dan semangat yang kuat. Namun kini, berbagai kultur itu kian luntur. Komisariat sebagai ujung tombak organisasi, mengalami “ketakutan” untuk menerapkan berbagai budaya tersebut, dikarenakan kuantitas kader yang kian menurun. Selain faktor keteladanan dari struktur yang ada diatasnya juga mulai pudar. Disinilah akar masalah internal organisasi terjadi. Ciri kader HMI yang unggul dan tangguh (akademis, organisatoris dan agamis), lambat laun di tiap-tiap kampus mulai terkikis, baik karena ketidakmampuan kader itu sendiri, maupun adanya dinamika dengan kader organ lain yang kian kompetitif. Padahal salah satu daya tarik bagi mahasiswa baru (calon kader) terhadap HMI, adalah adanya pengakuan terhadap kemampuan kader HMI oleh civitas akademika kampus (tertokohkan). Inilah “magnet” yang efektif untuk melakukan rekruitmen kader secara “ideal”. Ketiga, Struktural Oriented kader. Disatu sisi ambisi struktural kader untuk terus berkompetisi masuk dalam struktur-struktur yang ada; PB, Badko, Cabang, Korkom dan komisariat, merupakan hal yang wajar dan juga positif, namun disisi lain ambisi tersebut menjadi kurang produktif, tatkala proses penapakannya hanya menumpukan pada dimensi politik oriented, yang mengesampingkan pertimbangan kapasitas personal yang bisa didedikasikan. Disinilah terjadi kesenjangan. Pertimbangan rekruitmen kepemimpinan serta kepengurusan lebih didominasi oleh pendekatan politik dan juga terkadang faktor “restu” senior, yang mana mengesampingkan pendekatan kapasitas dan integritas personal. Sehingga dinamika yang terjadi kurang konstruktif, karena sulit untuk bersikap obyektif.

Berangkat dari permasalahan mendasar bangsa Indonesia dan kondisi obyektif HMI saat ini, maka saya selaku bagian dari warga himpunan “pinggiran”, terpanggil untuk menyingsingkan lengan baju, mendedikasikan diri untuk organisasi. Untuk itu, pada momentum Kongres HMI XXVI yang akan digelar di Palembang nanti, maka saya memurnikan niat, membulatkan tekat, untuk maju sebagai kandidat Ketua Umum PB HMI Periode 2008 - 2010, dengan semangat : “Bersatu Dan Mempersatukan, Berjuang Dan Memperjuangkan, Bergerak Dan Menggerakan, Berteriak Dan Meneriakkan, Mari Bangun HMI, Menuju Indonesia Mandiri”.